Dalam sejarah perkembangan ilmu linguistik dunia, nama Ferdinand de Saussure kerap menempati posisi terdepan. Ia dikenal luas sebagai Bapak Linguistik Modern berkat kontribusinya yang mendalam dalam membentuk cara pandang baru terhadap bahasa. Gagasan-gagasannya telah membuka cakrawala berpikir para ahli bahasa di berbagai belahan dunia. Sedangkan ketika kita merujuk pada khazanah linguistik dalam tradisi Arab, muncul satu nama besar yang tak kalah berpengaruh: Sibawaih. Ia merupakan tokoh sentral yang meletakkan dasar-dasar ilmu nahwu dan menjadikannya sebagai disiplin yang sistematis serta kokoh.
Sibawaih adalah nama yang sangat dihormati dalam dunia ilmu bahasa arab. Bernama lengkap Abu Bisyr Amr bin Utsman bin Qanbar Al-Bishri, sang maestro bahasa arab ini lahir di Hamdan (sekarang Iran) pada tahun 760 Masehi. Konon, julukan Sibawaih berasal dari bahasa Persia yang berarti “aroma apel”. Hal ini mungkin karena beliau memiliki wangi badan yang harum seperti buah apel. Pria kelahiran Persia ini meski bukan penutur asli bahasa arab, bakatnya dalam menguasai dan merumuskan kaidah-kaidah bahasa Arab sangat luar biasa.
Sibawaih telah meninggalkan jejak yang amat indah dalam perjalanan sejarah mengenai bahasa arab. Berangkat dari Persia, Sibawaih mendalami ilmu pengetahuannya mengenai kaidah-kaidah bahasa Arab. Beliau akhirnya memutuskan untuk hijrah ke kota Baghdad yang pad saat itu merupakan pusat ilmu pengetahuan Islam yang sangat besar. Di sanalah banyak ulama besar berkumpul dan saling bertukar pikiran.
Ilmu pengetahuan yang pertama kali beliau pelajari adalah ilmu fiqh dan hadist. Sibawaih mempelajari ilmu hadist dari Hamad bin Sahnah. Suatu hari ia pernah mendapat diktean dari sang guru, yang berbunyi : ليْسَ مِنْ أصْحَابِ إلاَّ مَنْ لوْ شِئتَ لََخَذْتُ عَليْهِ ليْسَ أنََ الدَّردَاءِ
Sibawaih langsung menyanggah sambil berkata : ليْسَ أب وْ الدَّردَاءِ
Dia menduga lafazh abu darda adalah isim laisa. Gurunya langsung menimpali: “Kamu salah, wahai Sibawaih. Bukan itu yang kamu maksudkan, tetapi lafazh laisa di sini adalah istitsna!” Maka Sibawaih langsung berkata: “Tentu aku akan mencari ilmu, dimana aku tidak akan salah membaca.”
Pada akhirnya, Sibawaih berguru kepada Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi dan Yunus bin Habib. Keduanya merupakan para ahli bahasa arab. Guru pertama Sibawaih yang sangat terkenal merupakan Al-Khalil, beliau dikenal sebagai penemu ilmu arudh, ilmu yang mempelajari tentang irama dalam syair arab. Setelah Al-Khalil, Sibawaih juga berguru dengan Yunus bin Habib, ahli bahasa arab lainnya. Keduanya merupakan tokoh penting dalam perkembangan ilmu Nahwu.
Selain kegigihan Sibawaih dalam menuntut ilmu, beliau juga memiliki bakat yang luar biasa dalam menganalisis kaidah-kaidah bahasa arab. Sibawaih tidak hanya menghafal kaidah-kaidah bahasa arab, tetapi juga berusaha untuk memahami secara mendalam seluruh struktur bahasa tersebut. Maka dengan begitu, tak perlu diragukan lagi kemahiran Sibawaih dalam menguasai bahasa arab yang mana pengaruhnya bisa kita rasakan sampai saat ini.
Kontribusi terbesar Sibawaih adalah dalam bidang nahwu atau tata bahasa Arab. Beliau berhasil merumuskan kaidah-kaidah bahasa Arab dengan sangat sistematis dan logis. Karya utamanya adalah Al-Kitāb, sebuah ensiklopedia tata bahasa Arab yang sangat komprehensif. Kitab ini menjadi rujukan utama bagi para ahli bahasa Arab selama berabad-abad dan dianggap sebagai salah satu karya paling penting dalam sejarah ilmu bahasa Arab.
Al-Kitab adalah karya monumental Sibawaih yang menjadi landasan bagi ilmu tata bahasa Arab (nahwu). Buku ini menyajikan pemahaman yang sangat mendalam tentang struktur bahasa Arab. Isi buku ini mencakup berbagai aspek, mulai dari pembahasan tentang Fonologi, Morfologi, hingga Sintaksis. Dengan pendekatan yang sistematis dan logis, Sibawaih berhasil merumuskan kaidah-kaidah bahasa Arab yang menjadi rujukan utama bagi para ahli bahasa selama berabad-abad.
Sibawaih berhasil memberi pemahaman yang signifikan mengenai Fonologi yang membahas tentang bunyi-bunyi bahasa Arab, termasuk bagaimana bunyi-bunyi tersebut diproduksi dan bagaimana mereka bergabung membentuk kata. Selain itu, ia juga berkontribusi pada pembahasan mengenai Morfologi yang menjelaskan tentang pembentukan kata, termasuk akar kata, imbuhan, dan perubahan bentuk kata. Pun mengenai sintaksis yang membahas tentang cara kata-kata digabungkan menjadi kalimat, termasuk aturan pembentukan kalimat, jenis-jenis kalimat, dan fungsi kata dalam kalimat.
Selain membahas aspek-aspek dasar tata bahasa, Al-Kitab juga menyoroti topik-topik yang lebih spesifik. Buku ini mengulas perbedaan dialek bahasa Arab yang digunakan di berbagai wilayah, serta penerapan kaidah bahasa dalam puisi dan Al-Qur’an. Dengan demikian, Al-Kitab tidak hanya menjadi pedoman untuk memahami struktur bahasa Arab secara umum, tetapi juga menjadi alat yang berguna untuk menganalisis teks-teks berbahasa Arab yang lebih kompleks, seperti karya sastra dan teks keagamaan.
Banyak kalangan menilai karya ini sebagai sebuah keajaiban dan hampir sempurna. Analisis Sibawaih yang sangat detail mengenai struktur bahasa Arab, penggunaan kata, dan variasi bentuk kata telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pemahaman mendalam tentang bahasa Arab. Ketelitian dan kelengkapan sistematika yang disusun Sibawaih membuat Al-Kitab menjadi sebuah karya yang sulit ditandingi dan menjadi rujukan abadi bagi para pencinta bahasa Arab.
Al-Kitab karya Sibawaih adalah sebuah jendela yang membuka kita pada keindahan dan kompleksitas bahasa Arab. Melalui analisis mendalam yang dilakukan oleh Sibawaih, kita dapat mengapresiasi betapa rumit dan terstruktur bahasa Arab ini. Karya ini tidak hanya menyajikan aturan tata bahasa, tetapi juga mengungkap keindahan estetika yang tersembunyi di balik setiap kata dan kalimat.
Sibawaih mempunyai beberapa murid, meski tidak sebanyak ulama-ulama lainnya. Selain karena cadel, beliau juga kurang fasih dalam berbicara. Yang paling terkenal adalah Abu al-Hasan al-Akhfasy al-Awsath dan Quthrub. Keduanya meneruskan perjuangan Sibawaih sebagai ahli nahwu juga menyampaikan ilmu-ilmu yang mereka dapat dari sibawaih kepada generasi selanjutnya. Al-Akhfasy berhasil melahirkan beberapa karya yang juga menganalisis tentang ilmu Bahasa arab, diantaranya : al-Awsath fi al-Nahwi, Ma‘ânî al-Qur’ân, dan al-‘Arûdh wa al-Qawâfî.
Pada tahun 796 M atau 180 H Sibawaih menghembuskan nafas terakhirnya di usia yang relatif masih muda, yaitu 36 tahun. Beliau wafat di Shiraz, disebabkan oleh penyakit diare yang menyerangnya secara tiba-tiba. Diduga sebelum meninggal, ia mengalami dehidrasi (kekurangan cairan dalam tubuhnya). Kondisi badannya menjadi lemas lalu meninggal dunia. Meski sibawaih telah berpulang, tetapi karya-karyanya tetap abadi hingga akhir zaman ini