Dogma, doktrin dan Iman dalam agama selalu menjadi bahan diskusi yang menarik untuk dibahas. Perbincangan seputar apakah term-term tersebut ilmiah menjadi pertanyaan yang sering kali melahirkan pergulatan intelektual antarpara pemikir Islam, filsuf dan orang semacam mereka. Hal ini muncul dari penggunaan kata ilmiah yang bermakna, ia harus disematkan pada sesuatu yang bersifat ilmiah. Yaitu, sebuah kesimpulan atas dasar ilmu pengetahuan atau konklusi yang memenuhi syarat dan kaidah keilmuan. Pengertian demikian acapkali dijadikan bukti bahwa agama tidak ilmiah, sebab ia hanya berasaskan pada keyakinan-keyakinan.
Betrend Russel adalah salah satu filsuf modern yang berpandangan agama adalah dogma. Ia menilai dogma dalam agama dapat menyebabkan kejumudan dalam berpikir. Dalam artian, agama menjadi pemicu kemandekan kebebasan berpikir seseorang dalam merespons fenemona yang ada. Corak berpikir seperti inilah yang disebut dogmatisme. Dalam buku Why I am no a Christian, dogmatisme adalah “The conviction that it is important to believe this or that, even if a free inquiry would not support the belief” (Keyakinan bahwa penting untuk mempercayai ini atau itu, bahkan jika penyelidikan bebas tidak menguatkan keyakinan tersebut).
Dalam definisi tersebut, Russel mengkompromikan dogma atas dua hal, yaitu keyakinan dan sikap. Keyakinan mutlak seseorang atas apa yang ia ikuti dan percaya, baik secara tradisi, warisan dan hal serupa lainnya. Dalam hal ini, keyakinan merupakan respons dari sikap yang statis. Meski ada sedikit perbedaan atas keyakinan yang berlandaskan basis ilmiah ataupun tidak “even if a free inquiry would not support the belief”( bahkan jika penyelidikan bebas tidak menguatkan keyakinan tersebut). Akan tetapi, Russel tidak memberikan penjelasan khusus terhadap penyelidikan bebas yang dimaksud. Begitu pula dengan kesimpulan yang menyatakan apakah keyakinan itu telah teruji penelitian bebas atau belum, Ia hanya mendaku bahwa agama adalah dogma.
Untuk mengatasi dogma yang mengakibatkan kebekuan berpikir, Russel menawarkan tiga solusi. Pertama, penanaman cara pandang kritis yang bisa menakar sebuah dalil. Salah satunya yang disebut The idea of weight of evidence (gagasan tentang bobot bukti). Yakni, pembiasaan untuk tidak menerima sebuah pernyataan yang tidak didasarkan pada bukti. Kedua, penekanan hasil sebuah analisis nilainya lebih tinggi dari pada kadar keimanan. Artinya, kecenderungan agar selalu skeptis terhadap segala sesuatu. Ketiga, kebebasan berpikir harus ditopang dengan pengkajian yang jujur, objektif dan adil mengenai kebenaran-kebenaran baru.
Definisi dan jalan keluar tersebut merupakan satu dari sekian klaim yang sering dijadikan tuduhan bahwa agama tidak ilmiah, rasional dan membumi. Anggapan ini jika dinisbatkan kepada agama samawi lainnya mungkin saja benar. Akan tetapi apabila dakwaan itu dijatuhkan pada Islam, tentu sangat keliru dan tidak tepat. Sebagaimana yang kita ketahui Islam mempunyai argumen-argumen rasional atas ajaran-ajaran yang dibawahnya. Burhan-burhan ini diperkuat oleh al-Buthi dalam bukunya yang berjudul ad-Din wal-Falsafah terkait hal keimanan, bahwa Islam selalu memposisikan keimanan sebagai hasil dari pikiran yang disandarkan pada metodologi ilmiah.
Keilmiahan ini terbukti dengan makna keimanan yang banyak diulas dalam kitab-kitab tauhid. Salah satunya karya Imam as-Sanusi dalam Umu-al-Barahin yang mengartikan keimanan adalah pembenaran bersifat pasti terhadap perkara yang sesuai dengan realita dan berdasarkan dalil-dalil aqli maupun naqli. Sedangkan al-Buthi mendefinisikan iman merupakan penerimaan akal secara penuh terhadap seluruh kebenaran yang ada pada keimanan itu sendiri. Dari dua pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa posisi keimanan dalam Islam tidak hanya keyakinan dan percaya atas sesuatu atau perintah yang telah wujud, melainkan juga harus bersendikan dengan akal.
Selain itu, al-Buthi dalam Kubro al-Yakiniat-al-Kauniyat menjelaskan setiap ada perintah yang berkaitan dengan keimanan, pasti memiliki premis-premis logis dan sebab-sebab atas hadirnya anjuran itu. Ini menandakan untuk sampai pada kesimpulan utuh tentang adanya otoritas tertinggi harus melalui penalaran logis, sistematis dan ilmiah. Contoh dalam ilmu Matematika, penyebab munculnya angka 2 pasti dengan ditambahnya angka 1. Analoginya, mustahil alam raya ini tercipta dari ketiadaan atau dalam istilah arab sesuatu yang ma’dûm (angka 0), pasti ada musabbibul-awwal (angka 1) atau dzât wâjibul-wujûd yang menjadi asal dari adanya semesta ini.
Model lain dalam konsep bangunan misalnya, secara logis bangunan yang sempurna tidak mungkin dapat berdiri dengan sendirinya tanpa adanya subjek yang membuatnya. Rumusan bangunan tersebut menjadi salah satu kaidah berpikir rasional sesuai dengan logika yang sehat. Jika hal yang remeh seperti bangunan saja memiliki metodelogi berfikir yang demikian, apalagi konsep alam raya ini. Alam raya seluas dan semenakjubkan dengan sistem keteraturannya mustahil tiba-tiba menjadi wujud atau bermula dari ketiadaan kecuali ada yang menciptakannya, yakni Allah SWT.
Kemudian ayat al-Qur-an juga banyak menguraikan tentang ilmu pengetahuan yang beralaskan dengan akal dan dalil-dalil rasional untuk sampai pada suatu keyakinan. Al-Quran surah Muhammad ayat 47 misalnya, “Ketahuilah (Nabi Muhammad) bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah”. Dalam ayat ini, sangat jelas bahwa yang dituntut pertama kali adalah “ketahuilah” bukan “yakinilah”. Artinya, untuk sampai pada kesimpulan tidak ada Tuhan selain Allah, Islam mengharuskan kepada umatnya untuk menggunakan ilmu pengetahuan. Sehingga konklusi hanya Allah yang wajib diimani itu bersifat logis.
Dari pemahaman konsep ilmiah di atas, kita mengetahui Islam sejak dahulu telah memerintahkan umatnya untuk selalu bersikap objektif dalam meyakini dan membenarkan sesuatu. Hal ini cukup senapas dengan solusi yang ditawarkan oleh Russel dalam menghadapi dogma. Yaitu tidak mensahihkan keyakinan ataupun sesuatu kecuali dengan dalil yang kuat. Penanggulangan demikian juga selaras dengan makalahnya al-Buthi In Kunta Nâqilan fa-ash-Shihhah aw Mudda’iyan fa ad-Dalîl (jika kamu mengutip sesuatu, maka verivikasi kesahihannya, atau kamu mengklaim sesuatu, maka tunjukkan argumennya).
Maka, secara otomatis apa yang diajukan Russel sebagai pondasi dasar melawan dogma, itu telah terakomodir dalam butiran-butiran pengetahuan Islam. Artinya, jika dogma memang benar menjadi bagian dan penyebab penghalang kebebasan berpikir, maka mengapa dalam saat yang sama Islam juga menganjurkan untuk bersikap kritis dan skeptis. Apabila klaim tersebut diamini, maka akan terjadi kontrakdiksi dalam dua pemahaman yang menitahkan untuk menyakini sesuatu dengan bukti dan tanpa bukti. Padahal dalam logika klasik, dua hal yang bertentangan mustahil untuk terhimpun dan terangkat.
Walakhir, kita bisa menyimpulkan bahwa konsep yang termuat dalam agama Islam, baik berupa Ketuhanan, keimanan dan keyakinan berbeda dengan lainnya. Islam memberikan keleluasaan dalam berpikir untuk merenungkan semua yang ada di dalam semesta ini. Skema yang seperti ini siap dan bisa diuji secara argumentatif, serta penyelidikan dan pengujian bebas sesuai kaidah ilmu pengetahuan. Dengan demikian Islam sebagai agama yang ilmiah dan rasinoal benar-benar nyata. Lantas masih kah kita menyebut agama ini adalah sebuah dogma?