Masisir: Antara Tradisi dan Modernitas

Masisir: Antara Tradisi dan Modernitas

Semenjak menjadi bagian dari sebuah komunitas mahasiswa Indonesia di Mesir yang berakronim “Masisir”, saya mengijimanasikan bahwa di masa mendatang mereka akan menjadi aktor-aktor perubahan untuk Indonesia. Imajinasi yang sudah bercokol kuat di benak saya itu hadir sebab Masisir sering kali diidentikan sebagai diaspora Indonesia di luar negeri. Sematan luar negeri yang demikian dalam pandangan banyak orang memiliki konotasi yang cukup apik. Dalam artian mereka dinilai oleh masyarakat sebagai orang-orang terpilih dari negaranya.

Tidak berlebihan bila saya mengandaikan Masisir mesti mempunyai keterampilan, kecakapan dan kepiawaian selain di bidang agama. Maksudnya, setidak-tidaknya Masisir mempunyai satu keterampilan khusus yang dapat menyokong pelajaran-pelajaran agama yang mereka pelajari. Tanpa keahlian khusus, materi-materi yang termuat di benak mereka akan terdiam dan tidak bisa dilarikan kemana-mana. Mengingat zaman yang berubah begitu masif, kepekaan dalam merespons dan mengadopsi pengetahuan serta informasi aktual menjadi keniscayaan bagi Masisir.

Sayangnya, terhitung sejak dua tahun lebih menetap dan tinggal di pinggiran Kairo, saya tidak banyak menemukan Masisir yang adaptif dan reaktif terhadap perkembanngan zaman, terutama pada wacana-wacana keislaman kontemporer. Isu-isu keislaman modern dan relevan yang semestinya menjadi salah satu tujuan utama Masisir ke al-Azhar, justru kurang mendapat perhatian dalam dinamika atmosfer intelektual Masisir. Sebaliknya, sebagian besar dari mereka masih tetap terpaku dan terhenti pada “tradisi” yang seolah menjadi tawaran hidup dan mati.

Tradisi yang saya maksudkan adalah segala bentuk warisan-warisan generasi terdahulu baik berbentuk karya tulis maupun tidak, baik dalam aspek keagaman, ilmu pengetahuan, budaya, sastra maupun cerita rakyat. Dalam konteks Masisir, aspek keagamaan sangat dominan, sebab mereka memang datang untuk belajar agama. Pelajaran seperti, nahu, sharaf, balagoh, tafsir, fikih dan sebagainya menjadi daya tarik yang terelakan bagi Masisir. Tersebab, ilmu-ilmu itulah yang menjadi titik fokus mereka datang ke al-Azhar. Maka, tak ayal jika “tradisi” yang demikian tetap eksis hingga saat ini.

Keksisan “tradisi” di kalangan Masisir tentu tak terlepas dari keberadaan al-Azhar sebagai institusi keagamaan tradisional yang memang menjaga dan merawat tradisi itu sendiri. Bukti-bukti konkret atas hidupnya tradisi bisa ditemukan pada diktat-diktat kampus yang masih menggunakan kitab-kitab turast dan majelis-majelis talaqi, serta literatur-literatur klasik yang tersebar di pinggiran al-Azhar. Upaya al-Azhar dalam menghidupkan dan melanggengkan “tradisi” ini adalah bentuk komitmen, bahwa warisan generasi terdahulu masih tetap relevan untuk diaplikasikan.

Kendati demikian, al-Azhar juga tidak menutup diri dari “modernitas” dengan catatan tetap berasaskan “tradisi”. Sebagaimana konsep pembaruan dalam turats- wa-tajdid karya Ahmad Tayyib, Grand Syekh al-Azhar saat ini. Ia menjelaskan bahwa konsep pembaruan harus tetap berpegang teguh pada tradisi (turats). Jelasnya, pembaruan terhadap suatu tradisi boleh dilakukan asal tidak melupakan pondasi dasar dari tradisi itu sendiri. Karena ide-ide pembaruan akan selalu berkelindan dengan gagasan-gagasan lama sebagai suatu displin pengetahuan.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa al-Azhar secara jelas tidak menutup dari ide-ide “modernitas”. Jika dipahami ke dalam konteks Masisir yang seolah stagnan terhadap “tradisi” dan enggan untuk mengonsumsi “modernitas”, maka itu adalah sebuah kekeliruan. Sedangkan, Masisir yang terlalu mendramatisasi “tradisi” hingga menganggap ia adalah satu-satunya dan tujuan utama ke al-Azhar, itu merupakan sebuah kejumudan intelektual. Yakni pemahaman yang statis dan cenderung kaku dengan tradisi-tradisi dan enggan menerima perubahan.

Namun, sekali lagi perubahan dalam konteks “modernitas” ini bukan artinya “tradisi” harus sepenuhnya ditinggalkan. Akan tetapi, ia tetap dirawat untuk dijadikan pijakan dalam memfilter arus “modernitas” yang ada. Misalnya, soal wacana keislaman modern yang digaungkan oleh para pemikir kontemporer dalam pembaruan ilmu tafsir, ilmu logika, ilmu kalam dan sejenisnya yang lebih membumi dan dekat terhadap sosial masyarakat kiwari ini. Meski konsep pembaruan yang ditawarkan kadang kali mendobrak kemapanan teks klasik, nyatanya itu adalah hal niscaya hari ini.

Lantas, bagaimana seharusnya Masisir menyikapi arus “tradisi” dam “modernitas” ini? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu didudukan dahulu Masisir sebagai subjek aktif yang mempunyai kesadaran atas dua arus itu. Adapun tradisi dan modernitas adalah objek yang dapat dipandang untuk melihat realitas demi mewujudkan maslahat bersama. Sedangkan, al-Azhar sebagai kata kerja yang memungkinkan untuk menyaring dan mengadopsi perubahan-perubahan yang sedang berkembang. Dengan tujuan untuk melihat kerelevan dan kebutuhan zaman modern ini.

Sebagai subjek aktif yang memiliki kesadaran penuh dalam memandang “tradisi” dan “modernitas”, keterbukaan pikiran dalam diri Masisir adalah kuncinya. Maksudnya, Masisir perlu bersikap objektif dalam melihat tradisi sebagai warisan yang memang perlu diperbarui dalam waktu tertentu. Di sisi lain, Masisir mesti menerima bahwa perubahan (modernitas) yang masuk dalam tradisi merupakan fitrah kemanusiaan yang sudah seharusnya. Adanya dua pembeda ini dimaksudkan agar Masisir bisa menimbang aspek mana yang perlu diambil dan dibuang serta dikembangkan.

Tradisi yang memiliki peran penting dalam dinamika intelektual Masisir di al-Azhar sudah saatnya dikaji dalam konteks kekinian. Alih-alih stagnan dan menganggap bahwa tradisi adalah hal statis, Masisir seyogianya bersikap dinamis terhadap warisan tersebut. Menaruh sikap “syak” terhadap perubahan dengan mengadopsi wacana keislaman mutakhir memang patut menjadi pertimbangan. Terlebih jika ide-ide keislaman itu datang dari “luar”, tetapi itu bukan artinya Masisir harus menutup mata pada wacana kesilaman kontemporer. Lebih-lebih lagi hanya mencukupkan diri pada “tradisi”, seperti ilmu nahwu, sharaf dan fikih klasik.

Biasa Dipanggil Madoll, Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Gemar Mengobrol dan Menikmati Kopi

You might also like
Intensi Kewirausahaan Mahasiswa Indonesia di Mesir

Intensi Kewirausahaan Mahasiswa Indonesia di Mesir

Pentingnya Kesehatan Mental di Era Modern

Pentingnya Kesehatan Mental di Era Modern

Tradisi Amplop Dari Perspektif Syariat

Tradisi Amplop Dari Perspektif Syariat

Teknologi dan Pembentukan Identitas Kontemporer di Era Digital

Teknologi dan Pembentukan Identitas Kontemporer di Era Digital

Dampak Sosial Media bagi Remaja: Antara Peluang dan Ancaman

Dampak Sosial Media bagi Remaja: Antara Peluang dan Ancaman

Paradoks Visi Indonesia Emas 2045

Paradoks Visi Indonesia Emas 2045