Di Antara Dua Pilihan

Di Antara Dua Pilihan

Athira menghela nafas panjang, matanya tertuju pada sebuah laptop yang menyala di

hadapannya yang berisikan informasi mengenai Universitas Al-Azhar, sebuah mimpi yang selama ini ia dambakan. Sejak kelas 6 TMI ia sudah menaruh minat untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman lebih dalam di negeri para Ulama.

 

Namun, sebelum sempat larut dalam euforia, sebuah pikiran lain menyeruak dalam benaknya.

Beberapa hari yang lalu, Ustazah Erna, pengasuh pondok pesantren, memanggilnya. Beliau meminta

Athira untuk menjadi salah satu kader pondok pesantren di tempat ia mengabdi. Tawaran itu sungguh

menggiurkan. Athira merasa memiliki tanggung jawab untuk membalas budi kepada pondok yang telah membesarkannya.

Also Read: Di Ambang Cahaya

 

Perasaan Athira serasa tercabik-cabik. Mimpi menuntut ilmu di negeri Kinanah begitu

menggiurkan, tetapi ikatan batinnya dengan pondok pesantren terasa begitu kuat. Ia berada dalam dilema. Saat curhat kepada sahabat terdekatnya terkait dua pilihan tersebut, ia mendapat saran bijak,

Also Read: Bibit Unggul

“Pilihlah jalan yang membuat hatimu paling tenang, dan ambillah”

 

Setiap malam, Athira tak pernah absen melaksanakan sholat istikharah. Ia memohon petunjuk

Allah SWT agar diberikan jalan yang terbaik. Dalam sujudnya, ia mencurahkan segala keraguan dan harapan. Hati yang tadinya gelisah perlahan mulai tenang. Ia yakin, Allah SWT pasti akan memberikan

jawaban yang paling tepat.

 

“Ya Allah, hamba merasa tercabik-cabik. Hati ini terbelah antara keinginan untuk meraih

mimpi dan rasa terima kasih kepada tempat yang telah banyak mengajarkan hamba. Mengapa hamba

harus memilih salah satu jalan? Bukankah Engkau Maha Kuasa untuk mengabulkan keduanya?” lirih

Athira sambil meneteskan air mata. Terkadang, ia bertanya-tanya dalam hati, “Mengapa aku harus

memilih salah satu? Apakah tidak ada jalan untuk menggabungkan keduanya?’.

 

Hari demi hari berlalu, Athira semakin gelisah, Ia sering melamun, memikirkan masa

depannya. Hingga pada suatu sore, ia di panggil lagi untuk mendatangi Ustazah Erna dan dimintai hasil

keputusan yang sempat ditawari, dengan Bismillah ia memberanikan diri untuk datang ke rumah beliau.

 

“Athira, Ustazah mengerti kamu sedang merasa bimbang, namun apa salahnya kamu coba

untuk menerima amanah sebagai kader di pondok ini Insyaallah ada berkahnya, Ustazah yakin kamu

mampu menjalankan tugas dengan baik. Ustazah juga ingin kamu tahu bahwa kami tidak menilai

kemampuan hanya dari segi intelektual. Ada sesuatu yang istimewa dalam dirimu yang membuat kami

sangat menyayangimu.” Tutur Ustazah Erna.

 

“Jadi, bagaimana keputusanmu Athira?” tanya ustazah lembut. “ Bismillah, Ustazah. Dengan

izin Allah, saya terima keputusan ini, minta doa dan Ridho nya ustazah” jawab Athira dengan suara

bergetar. Kemudian Ustazah segera memeluk Athira penuh haru sembari mengucapkan alhamdulillah.

Usai perbincangan hangat dengan Ustazah, Athira pun melanjutkan aktivitas seperti biasanya.Orang tua Athira pun berdiskusi panjang lebar dengan pimpinan pondok dan akhirnya meridhoi apa pun keputusan yang diambil oleh anaknya.

Beberapa hari kemudian, Athira di panggil untuk menemui Ustaz Yani, pimpinan pondok

pesantren. Dengan senyum teduh, beliau menyampaikan kabar gembira. “Athira, Bismillah, pondok

memberikan kesempatan kepadamu untuk melanjutkan cita-citamu menuntut ilmu di Mesir.

Insyaallah, pondok mendukung penuh langkahmu”.

 

Athira sangat terkejut dan Bahagia mendengar kabar itu. Ia bersujud Syukur kepada Allah SWT

atas karunia yang telah diberikan. Ia merasa bahwa Allah SWT telah membuka jalan baginya untuk

meraih kedua impiannya.

 

Dengan penuh semangat, Athira mulai mencari informasi tentang pendaftaran tes masuk Al-Azhar. Ia menjelajahi berbagai situs web, bergabung dengan grup diskusi online, dan bahkan

menghubungi alumni Azhar yang ia kenal. Namun, di balik kegembiraan itu, ia kembali dilema yang

mengusik pikirannya.

 

Saat pendaftaran tes dibuka, Athira kembali dihadapkan pada dua pilihan sulit. Pertama,

mengikuti tes di lokasi ujian bersama mediator di Bojonegoro, yang menjanjikan bimbingan intensif.

Pilihan kedua, tetap bersama teman-temannya di pondok untuk menyelesaikan masa pengabdian.

 

Hatinya terbelah. Di satu sisi, ia ingin mewujudkan mimpinya. Namun, di sisi lain juga, ia tidak

ingin mengecewakan teman temannya yang telah menjadi saudara baginya. Banyak malam Athira

bergadang merenungkan pilihan yang akan di ambil, namun ia tak pernah lupa untuk selalu memohon

petunjuk kepada Allah SWT.

 

Akhirnya, setelah bergumul dengan pikirannya, Athira memutuskan untuk tetap bersama

teman-temannya. Ia merasa bahwa persahabatan dan masa akhir pengabdiannya adalah hal yang sangat

berharga. Meskipun begitu ia tidak sepenuhnya menyerah pada mimpinya. Athira tetap mempelajari

materi ujian Al-Azhar secara mandiri, tanpa bimbingan dari siapa pun.

 

Proses pendaftaran terasa begitu menantang. Athira harus bersaing dengan ribuan calon

mahasiswa dari berbagai negara. Namun ia tak pernah menyerah. Setiap hari, di sela-sela kesibukannya

mengabdi ia berusaha Muroja’ah pelajaran yang pernah ia pelajari dulu di tingkat Aliyyah dan berlatih

soal-soal tes. Ia yakin bahwa kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan, tetapi juga oleh usaha dan doa.

 

Namun, di tengah persiapan yang begitu matang, keraguan mulai menghampirinya. “Apakah

aku cukup pintar? Bagaimana jika aku gagal?” batinnya. Meski begitu, Athira berusaha menenangkan

diri. Ia ingat pesan gurunya, “serahkan segala urusan kepada Allah, dan ikhlaslah dalam berusaha.”

Dengan keyakinan yang baru, Athira bangkit dan mengikuti ujian masuk Al-Azhar.

 

Hari pengumuman hasil tes tiba. Dengan jantung berdebar kencang, Athira membuka website

yang dikirim. Tak disangka namanya tercantum dalam daftar peserta yang diterima. Suka cita tak terkira menyelimuti hatinya. Ia bersyukur kepada Allah atas nikmat yang tak terhingga.

Perjalanan menuju Mesir terasa begitu singkat. Setibanya di Kairo, Athira langsung disambut oleh keindahan kota yang penuh sejarah. Ia merasakan bahwa ia telah berada di tempat yang tepat. Di Al-Azhar Athira bertemu dengan teman-teman baru dari berbagai negara. Mereka saling belajar dan berbagi pengalaman.

Namun, kehidupan di Mesir tidak selalu mudah. Athira harus beradaptasi dengan budaya yang berbeda, cuaca yang panas, dan makanan yang asing. Terkadang ia merasa rindu kampung halaman dan keluarga. Namun, ia selalu ingat pesan para Ustazahnya, agar bersabar dan tawakal kepada Allah.

Setiap kali menghadapi kesulitan, Athira selalu berusaha untuk mencari solusi. Ia belajar dari kesalahan, terus memperbaiki diri, dan tidak pernah menyerah pada keadaan. Ia yakin bahwa setiap ujian yang diberikan oleh Allah pasti ada hikmahnya.

 

Tahun demi tahun berlalu, Athira semakin matang dan dewasa. Ia tidak hanya berhasil

menyelesaikan studinya dengan nilai yang memuaskan, tetapi juga aktif dalam berbagai kegiatan, organisasi mahasiswa, mengaji pada para ulama Azhar dan masih banyak lagi.

Setelah menyelesaikan studinya, Athira kembali ke Indonesia. Ia menjadi seorang guru di pesantren tempat ia menunut ilmu. Dengan ilmu yang telah ia dapatkan, Athira berusaha membimbing para santriwati agar menjadi generasi yang cerdas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi agama dan bangsa.

Biasanya di panggil Uswa, Mahasiswi Al-Azhar, Kairo, Mesir.

You might also like
Burung yang Menemukan Langitnya

Burung yang Menemukan Langitnya

Di Ambang Cahaya

Di Ambang Cahaya

Bibit Unggul

Bibit Unggul

Hilang Atau Pulang

Hilang Atau Pulang