Dari Nasi Uduk ke Full Mesir: Rindu yang Menetapkan di Perantauan

Dari Nasi Uduk ke Full Mesir: Rindu yang Menetapkan di Perantauan

Pagi di Indonesia selalu dimulai dengan aroma nasi uduk yang begitu khas, hingga membuat siapa pun merasa dipeluk oleh rumah yang jauh di sana. Setiap suapan nasi uduk yang gurih, membawa kembali kenangan kecil tentang meja makan sederhana, yang tak pernah gagal mengajarkan arti kebersamaan. Sering teringat dibenak ku, bagaimana ibu menyiapkan dengan ketulusan yang tak bisa tergantikan. Kenangan datang begitu jelas, seolah wangi santan dan bawang goreng masih menempel di udara sekitarku. Di situlah aku sadar bahwa makanan mampu menyimpan cerita yang tidak pernah benar-benar hilang.

Ketika pertama kali mencicipi fuul di Mesir, aku langsung merasa bahwa hidup sedang memintaku berlatih menerima hal-hal baru yang datang tanpa permisi. Rasanya lembut namun asing, seolah mengajakku berhenti sejenak dan merenungkan sejauh apa aku telah melangkah dari tanah kelahiran. Fuul itu menjadi simbol bahwa merantau soal mengejar mimpi, juga melepaskan kenyamanan lama. Keheningan antara diriku dan suapan pertama, Dan di situlah perjalananku menuju pemahaman baru dimulai.

Aku duduk di warung kecil sambil memandangi mangkuk fuul yang mengepul, mencoba memahami bagaimana rasa sederhana itu bisa menjadi makanan pokok masyarakat di sini. Tidak ada aroma nasi gurih yang biasa menuntunku pada nostalgia, hanya rempah halus yang terasa asing tetapi jujur. Momen-momen seperti itu membuatku mengerti bahwa rindu bisa muncul dari hal-hal yang paling kecil dan tak terduga. Kadang aku tertawa kecil melihat betapa besar pengaruh sebuah sarapan terhadap suasana hati seorang perantau. Namun pada akhirnya, aku tahu bahwa setiap rasa baru membawa pelajaran tersendiri.

Nasi uduk adalah ingatan kolektif tentang rumah yang selalu menenangkan saat pikiranku lelah menempuh hari panjang di negeri orang. Setiap detailnya, uap santan hingga taburan bawang goreng adalah bagian dari masa kecilku yang tidak bisa dipisahkan dari identitasku. Kenangan itu sering datang tiba-tiba, seperti angin lembut yang menyentuh pipi di tengah kesibukan negara asing. Ia membuatku sadar bahwa ada hal-hal yang tidak pernah benar-benar pergi meski jarak membentang sangat jauh. Dan dari situlah semangatku untuk bertahan biasanya muncul kembali.

Fuul Mesir, meski sederhana, punya cara sendiri untuk mengambil tempat di hidupku, seolah ia menunggu waktu yang tepat untuk menjadi bagian dari keseharianku. Pada awalnya aku menolak karena rasanya tidak seperti yang biasa kutemui di Indonesia. Namun, perlahan aku mulai memahami pesona kesederhanaannya. Di sini, aku belajar makanan tidak harus mewah untuk menawarkan kenyang dan ketenangan. Ada filosofi hidup yang tersembunyi dalam setiap suapan fuul. Filosofi yang mengajariku menerima sesuatu apa adanya bisa jauh lebih membahagiakan daripada memaksanya menjadi seperti yang kuinginkan.

Dari nasi uduk ke fuul adalah perjalanan emosional yang mengajarkan arti beranjak dari zona nyaman yang penuh kenangan menuju ruang baru yang penuh tantangan. Aku merasa seperti sedang membuka lembaran baru yang memaksaku lebih berani, lebih sabar, dan lebih menghargai proses. Kadang aku merindukan kehangatan nasi uduk yang sulit ditemukan penggantinya, namun di saat lain aku bangga karena bisa berdamai dengan rasa baru. Di sinilah aku benar-benar memahami makna bertumbuh sebagai seorang perantau. Sebab bertumbuh tidak selalu nyaman, tetapi selalu bermakna.

Setiap pagi di Mesir menghadirkan pilihan: tenggelam dalam rindu yang panjang atau mencoba mensyukuri apa yang ada di depan mata. Dalam pilihan itu, aku belajar bahwa hidup tidak pernah meminta kita melupakan rumah, hanya meminta kita menerima kenyataan bahwa kita sedang berada di perjalanan. Fuul yang kusantap setiap hari menjadi saksi bisu bagaimana aku mencoba menyeimbangkan kedua hal tersebut. Ia tidak menggantikan nasi uduk, namun mengisi ruang yang ditinggalkannya. Ruang yang perlahan berubah menjadi tempat baru untuk belajar bertahan.