Burung yang Menemukan Langitnya

Burung yang Menemukan Langitnya

Pagi merayap masuk melalui celah jendela, menumpahkan cahaya tipis di atas buku-buku

yang terbuka. Ilham duduk diam di kursinya, jemarinya mengetuk-ngetuk sampul kitab

yang terbuka, sementara matanya menelusuri barisan huruf Arab yang tertata rapi,

menuntut untuk dipahami, terasa seperti dinding tinggi nan kokoh. Ia menarik napas,

membiarkan helaan panjang itu tenggelam dalam keheningan kamar. Bukan sekali ini ia

merasa tersesat dalam hidupnya sendiri.

 

Also Read: Di Ambang Cahaya

Sejak kecil, Ilham tumbuh dalam keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Ia tak

pernah membantah, tak pernah menawar. Kehidupannya tertata rapi dalam jalur kepatuhan,

bangun pagi, memilih makanan, hingga pergaulan, semua dalam batasan yang telah

Also Read: Bibit Unggul

ditentukan. Bukan karena ia tak memiliki keinginan sendiri, melainkan karena ia percaya,

di balik aturan itu ada restu orang tua yang akan menjaga langkahnya.

 

Namun, seiring bertambahnya usia, ada desir halus yang menggema dalam dirinya, seperti

angin yang mengetuk perlahan dinding sangkar. Cita-citanya sederhana, menjadi seorang

insinyur, menaklukkan angka dan rumus yang selalu membuatnya tertantang.

 

“Ini jalan terbaik untukmu,” kata ayahnya suatu malam. Suaranya tenang, tapi di baliknya

ada ketegasan yang tak membuka ruang bagi ragu.

 

Ilham terdiam. Kata-kata menggenang di tenggorokannya, namun ia tak sanggup

menumpahkannya. Maka, seperti dedaunan yang mengikuti arah angin, ia mengangguk.

 

Di kampus keagamaan, ia melangkah dalam dunia yang tak sepenuhnya ia pilih. Tafsir,

hadis, fiqh, semuanya seperti bahasa yang ingin ia mengerti, tapi tak sepenuhnya

menyentuh jiwanya. Malam-malamnya berlalu dalam kebisuan, berteman dengan langit-langit kamar yang sepi.

“Jika dulu aku merinci doaku, akankah hidupku berbeda?”

Ia teringat doa masa kecilnya. Burung.

Ia meminta sayap, ingin terbang bebas, menjelajahi langit tanpa batas. Namun, kini ia

bertanya-tanya: apakah ia burung yang melesat menuju cakrawala, atau burung yang

terperangkap dalam sangkar emas?

 

Tapi waktu, dengan caranya yang lembut, perlahan mengubah sudut pandangnya.

 

Sangkar, ternyata, bukan sekadar belenggu. Kadang, ia adalah tempat berlindung sebelum

seekor burung benar-benar siap menaklukkan langit. Jika ini jalannya, maka ia harus menemukannya sendiri. Ilham mulai belajar bukan sekadar untuk memahami, tetapi untuk

meresapi. Dalam halaman demi halaman yang dulu terasa asing, ia mulai menangkap kilatan

cahaya—makna yang tak sekadar tersurat, tetapi hadir sebagai bisikan yang perlahan

menyusup ke dalam hatinya.

 

Tahun demi tahun berlalu.

 

Kini, di sebuah majelis ilmu, ratusan pasang mata menatapnya. Di hadapannya, seseorang

mengangkat tangan dan bertanya,

“Ustaz, bagaimana jika kita merasa berada di jalan yang bukan pilihan kita sendiri?”

Ilham terdiam. Pertanyaan itu begitu akrab, seperti gema dari masa lalunya.

Ia menarik napas, tersenyum tipis, lalu menjawab,

“Aku tak akan sampai di titik ini tanpa doa orang tuaku. Tapi lebih dari itu, aku tak akan

berada di sini tanpa memilih untuk memperjuangkan doa mereka.”

Di sudut ruangan, sepasang mata yang telah lama ia kenal menatapnya dengan penuh

kebanggaan. Tak ada kata yang terucap, hanya sorot mata yang bercerita lebih dari sekadar kebahagiaan.

 

Dan Ilham pun tersenyum.

 

Terkadang, jalan yang kita tempuh bukan tentang ke mana kita ingin pergi, tapi tentang ke

mana kita dipersiapkan untuk sampai. Mungkin, ia memang burung yang dulu pernah ia

doakan. Bukan burung yang terkurung, melainkan burung yang akhirnya menemukan

langitnya, di tempat yang tak pernah ia duga.

You might also like
Di Antara Dua Pilihan

Di Antara Dua Pilihan

Di Ambang Cahaya

Di Ambang Cahaya

Bibit Unggul

Bibit Unggul

Hilang Atau Pulang

Hilang Atau Pulang