Hari sabtu pukul 8 malam, bulan purnama terlihat terang benderang sampai masuk dari jendela rumahku, aku sedang memakan kue di toples legendaris Khong Guan dan ditemani secangkir teh. Terpampang berita di telivisi, seorang pejabat ditangkap karena kasus korupsi, yang mana ia adalah salah satu tetangga di desaku. Berita ini akan sangat ramai esok hari dan pasti akan menjadi bangkai daging di kalangan ibu-ibu.
Di pagi buta, aku bersiap-siap berangkat ke sekolah setelah mandi jam 5 subuh dengan air sangat dingin. Baju sudah terpakai dengan rapih, dasi terpasang lurus, kaus kaki menyelimuti telapak kaki, aku hendak memakai sepatu putihku, tiba-tiba terdengar suara melengking dari arah dapur
“Andree… makan dulu, Nak!!”
Dalam hatiku “duh, padahal pengen makan di sekolah. Ya sudahlah, masakan ibuku tetap yang terbaik”.
Seusai sarapan, aku langsung bergegas menuju sekolah menaiki sepeda walaupun masih jam 06.00 dini hari, tak lupa meminta uang saku dari ibu, datang lebih awal adalah kebiasanku sejak lama, rasanya tak enak ditunggui orang lain meski aku yang sering menunggu mereka.
Aku bergegas berangkat, menaiki sepeda yang sudah disiapkan oleh Ibuku. Benar saja, belum genap 2 menit sejak lepas landas dari rumah, terdengar suara ibu ibu sedang mendiskusikan azab apa yang akan dikenai sang koruptor di televisi kemarin malam.
“Pasti masuk neraka itu mah”.
“Pantes perutnya buncit, suka makan makanan haram”.
“Pemerintah tu gak ada gunanya, mending dibubarin” kata salah seorang ibu yang sedang belanja sayur-sayuran dari penjual keliling di desa kami, sambil melirik kearahku yang sedang melewati mereka.
Agak tersindir karena ayahku juga salah satu pegawai di kecamatan sebelah, tapi aku tidak ambil pusing dan terus melanjutkan perjalananku ke sekolah.
Siang hari setelah pulang sekolah, aku bermain dengan teman temanku seperti biasanya, kemudian di sore hari aku hendak mengambil buah mangga matang yang dari kemarin sudah aku idam-idamkan walaupun aku bukan wanita hamil ataupun bisa hamil, setelah mencari genter, aku segera menuju pohon mangga dan ternyata mangga tersebut telah hilang, kutengok tepat di samping pohon itu terdapat seorang ibu sedang membawa mangga, reflek aku bertanya kepadanya.
“Bu, itu mangga dari pohon ini ya?” tanyaku.
“Iya, kenapa ,memangnya?” jawabnya dengan memasang raut wajah heran.
“Anu, mangganya saya minta dong, itukan mangga saya, tadi mau saya ambil tapi ternyata sudah gak ada” pintaku kepadanya.
“Lah, orang saya yang nemu duluan kok, lagian mangganya sudah jatuh ke tanah, salah siapa manggamu di samping jalan kan jadi dikira buat orang umum” bantahnya sembari meninggalkanku kebingungan.
Dengan wajah kecewa setengah mati, kutaruh genter yang kugenggam dengan kesal sambil menghela napas panjang.
pulang kerumah dengan wajah kesal membuat Ibuku bertanya.
“Kenapa, Re?”.
“Manggaku diambil sama Bu Fulanah” jawabku dengan nada ketus.
“Ya sudah, besok-besok mangganya juga tumbuh lagi” kata Ibu sambil mengelus-elus kepalaku.
Setelah makan malam, aku terlelap tidur, mungkin karena kekesalanku tadi sore sehingga membuat tubuh ini lemas.
Seperti biasa aku bangun dini hari kemudian melaksanakan sholat Subuh, setelahnya aku kembali membuat pulau dengan bantal dan kasurku yang empuk.
Aku terbangun jam 10 pagi, terdengar suara letusan ban mobil tak jauh dari rumahku, rasa penasaranku lebih besar dari pada rasa kantuk, aku pun segera mendatangi tempat kejadian perkara. Sesampainya di sana, terdapat sebuah truk yang terguling di pinggiran jalan aspal, di sekelilingnya ramai oleh ibu-ibu yang membawa wadah besar-besar.
Aku pun heran sembari meninggikan leherku, kemudian berusaha menyibak kerumunan. Sesampainya di tengah kerumunan, terlihat supir truk yang berwajah masam dan putus asa, sesekali ia menegur seorang ibu yang ada di dekatnya. Setelah kutolehkan pandanganku, ternyata supir itu menegur ibu-ibu yang sedang menjarah ikannya. Di tengah kesibukan orang-orang yang sedang menggambil ikan, aku berkata kepada ibu-ibu tersebut.
“loh, ikan-ikannya kok diambil, itukan punya orang, Bu” tegurku.
Tidak ada yang menggubris teguranku, semua sedang sibuk dengan tangkapannya. Kesal karena tidak ada yang menaggapi teguranku, aku hendak marah dan berteriak, belum sempat aku membuka mulut tiba-tiba ayahku datang dengan mengendarai motor, agak kesiangan dari biasanya ia pergi ke kantor.
“Bu, ikan-ikannya jangan diambil dong, kasian bapak-bapak itu bisa rugi banyak” kata ayahku sambil menunjuk ke supir truk.
“Halah, kami cuma ambil sedikit aja kok” saut salah satu ibu-ibu.
“Kan ikannya sudah jatuh, mubadzir kalo gak diambil”.
“Lagian sok suci amat sih”.
“minta dikit doang”.
Aku terdiam mendengar kata-kata tersebut, kesal sekali rasanya, sedangkan ayahku masih tetap santai, menghela napas pendek.
“Pejabat kita banyak yang korupsi ternyata juga tak lepas dari warga-warganya yang punya potensi koruptor, cuma emang gak keliatan aja karena gak dapat jabatan” balas ayahku dengan santai.
Kemudian ayah melirik ke arahku sambil berkata
“Komunitas yang baik itu terdiri dari individu yang baik pula, Nak. Semua unsur elemen harus punya tanggung jawab atas dirinya, keluarganya, negerinya dan seluruh makhluk yang ada di Bumi”.
Setelah selesai menasehatiku dan ibu-ibu tersebut, ayah mengambil kunci di saku celananya, menaiki motor dan bergegas menuju tempat kerjanya.
Dalam hatiku, “Ayah sudah menjalankan tugasnya sebagai muslim, begitu juga aku. Sekarang hanya tinggal mendokan mereka agar bertaubat tidak megulangi kesalahan yang sama”.
المسلم من سلم المسلمون من يده ولسانه